Episode Empat Belas: Rindu yang Berujung

Kisah sebelumnya ada disini.

Tak terhitung berapa tahun telah berlalu, Dimi memilih untuk berdiam diri. Beberapa pria pernah mencoba untuk mendekatinya, namun tak dihiraukan Dimi. Ainin pernah pula menasihatinya lewat telpon, agar ia membuka hati, karena Dimi kini bukan remaja lagi. Bahkan mungkin ia sudah harus serius memikirkan masa depannya. Dimi segera mengalihkan topik pembicaraan, saat Ainin masih berbicara.

“Apakah kamu masih merindukannya?” Tanya Ainin sedikit kesal. Dimi tak dapat menjawab.

Apa sebenarnya kerinduan itu? Dimi tak mampu tuk mendefinisikannya. Yang ia tahu hanyalah adanya sebuah rasa yang membuatnya mendadak berhenti memikirkan apapun dan hanya ingin berdiam diri sambil memandang jalan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Berharap punggung kurus itu menyeruak diantara orang banyak.

Setelah beberapa tahun, akhirnya penelitian Dimi di daerah Jawa berhasil. Bibit unggul yang bahkan telah disempurnakan, dapat dipanen. Kini ia ingin beristirahat sejenak. Ia ingin berlibur sambil menemui ayahnya di  Belanda.

Sehelai kain paris yang dikenakan Dimi dengan manis di kepalanya berkibar diterpa angin sore. Masih di halte yang sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Entah mengapa Dimi merasa ingin melihat ruas jalan itu sebelum keberangkatannya ke Belanda besok.

******

Den tersenyum kepada sekumpulan mahasiswa yang dilewatinya di depan ruang dosen. Ia baru saja kembali dari ruang direktur untuk mendapatkan ijin resmi keberangkatannya melanjutkan pendidikan masternya di Paris. Den merapikan meja kerjanya sedikit demi sedikit. Entah berapa tahun ia akan meninggalkan meja itu.

Den ingin bepergian. Semenjak ia lelah memaksa Damian untuk memberitahunya tentang keberadaan Dimitri, bertahun-tahun yang lalu, ia merasa ingin bepergian. Karenanya Den memilih untuk kuliah di jurusan pariwisata. Ternyata jurusan yang dipilih Den dan bekerja di kampus, dapat mengalihkan perhatiannya dari Dimi.

Namun saat ia kembali ke kamarnya, lukisan cendrawasih itu kemudian mengingatkan Den kepada anak jenius itu.

“Barang-barangmu sudah lengkap, Den?” Tanya Mami yang mendadak muncul di kamar Den.

“Hampir, Mi. Masih kurang dikit. Den belum punya jaket tebal”

“Beli sana.”

“Iya, Mi. Den permisi dulu. Mau ke mall. Assalamu’alaikum.” Den mencium tangan maminya.

“Wa’alaikumsalam.” Mami suka melihat perubahan pada Denova. Ia semakin manis dan tampak dewasa, meskipun ia adalah anak bungsu. Mungkin pekerjaannya sebagai dosen juga membuatnya seperti itu. Mami juga ingat, sejak hubungannya dengan Rindang berakhir, Mami belum pernah melihat  Den dekat dengan cewek manapun.

******

Den memacu sepeda motornya membelah jalanan ibukota. Keberangkatannya ke Paris untuk meraih gelar master di bidang tourism masih seminggu kemudian. Alih-alih menuju mall untuk membeli beberapa perlengkapan yang diperlukannya, Den memilih menuju sebuah tempat yang sangat ingin didatanginya sebelum berangkat.

******

Den yang pertama kali melihatnya. Ia hampir melewati wanita cantik itu. Den segera memarkir sepeda motornya.

Di halte itu, tempat yang menjadi favoritnya di masa-masa sekolah dulu, berdiri seorang wanita yang tak lepas dari ingatan Denova. Meskipun tak tampak lagi rambut yang dikuncir karena telah tertutup jilbab, tapi wajah berkacamata itu masih sama. Bukan sama, tetapi lebih cantik sekaligus anggun.

Den memandang wajah Dimi dari samping dengan jarak cukup dekat. Dimi tampak melamun, sehingga ia tak menyadari kehadiran Den diantara orang-orang yang sedang menunggu metromini.

Kau telah begitu dekat, Dimi. Hanya beberapa langkah di depanku.

Apakah ini saatnya bertemu denganmu dan menyapamu, Dimi? Apakah kau siap bertemu denganku?

Den ragu menyapa Dimi. Ia sangat yakin bahwa Dimi telah menghindarinya setelah kejadian dengan Rindang dulu. Apa yang akan dikatakannya pada Dimi setelah sekian lama mereka berpisah? Den merasa begitu banyak pertanyaan yang ingin diucapkannya.

“Di…” Belum selesai Denova memanggil, Dimi sudah melangkah menyeberang jalan. Den terdiam tak mengejarnya. Tangannya menggantung di udara.

Mungkin ini memang takdir kami, biarlah…

*****

“Selamat ya atas kesuksesan penelitianmu, Dim” kata Mas Bagas dari ujung telpon.

“Makasih ya, Mas.” Mas Bagas akhirnya bisa melupakan cintanya pada Dimi dan melabuhkan hatinya pada seorang rekan kerjanya di Papua.

Mas Bagas kemudian mengirimkan sebuah email berisi ulangan ucapan selamat atas keberhasilan Dimi dan mendo’akan semoga Dimi selamat hingga tiba di Belanda. Dimi tersenyum melihat foto yang dikirim Mas Bagas bersama emailnya. Sebuah foto yang berisi wajah Mas Bagas dengan seorang wanita cantik dengan perut buncit di usia 7 bulan kehamilannya.

*****

Soekarno-Hatta tampak sibuk dan sesak seperti biasa. Denova merasa senang sekaligus jengah karena ia diantar oleh hampir seluruh anggota keluarganya. Kak Damian, Kak Diana, Kak Daria dan Mami menjadi tim cheerleader keberangkatan Den ke Paris.

“Duh, anak mami bakal ke luar negri lama. Kalau mami kangen kamu gimana dong” Kata Mami sambil mengusap pipi Den.

“Ih, Mami apaan sih. Ntar kan bisa chatting.” Yang lain tertawa melihat Den yang memonyongkan bibirnya karena tak suka perlakuan maminya.

Deg. Wanita cantik itu lagi. Den melihat Dimi dari kejauhan di bandara itu. Den yakin kalau ini adalah takdirnya untuk bertemu dengan Dimi, karena ini adalah kali kedua ia melihatnya setelah bertahun-tahun berpisah.

“Sebentar ya, semua.”

Den lalu berlari menuju pujaan hatinya.

******

Dimi merasa lega karena urusan yang membuatnya menunda keberangkatannya ke Belanda akhirnya selesai.

“Dimi!”

Seorang pria memanggilnya dari arah samping. Dimi menoleh dan melihat pria itu ngos-ngosan setelah berlari. Wajah pria itu sempat merasuki mimpi-mimpinya. Denova yang kini lebih tampan.

“Aku kangen kamu” ucap Den. “Maafkan aku bila kau merasa tak nyaman dengan kejadian dulu itu”

Dimi kaget. Gerakan sekeliling mereka serasa terhenti dan yang bergerak hanya Den dan Dimi.

“Mengapa kamu ada disini, Den?”

“Aku akan ke Paris, S2. Kamu akan ke Belanda ya.” Den mencari-cari jika ada orang yang bersama Dimi.

“Aku sendiri kok”

“Mas Bagas…”

“Dia dengan istrinya di Papua. Hmm, kamu dengan siapa kesini?” Tanya Dimi hati-hati.

Den bahagia mendengar bahwa Dimi tidak bersama Mas Bagas. Den juga paham yang dimaksud Dimi pasti Rindang, atau wanita yang lain.

“Aku diantar keluargaku saja. Satu hal yang perlu kamu tau, kau tak tergantikan di hatiku.” Den nekad saja dengan kata-katanya. Tak peduli Dimi menerimanya atau tidak.

Untuk pertama kalinya Dimi merasa tersipu-sipu di usianya yang dewasa ini. Hatinya berbunga-bunga.

Panggilan penumpang menuju Amsterdam sudah terdengar. Sambil tersenyum, Dimi menuliskan nomor telpon, email dan berbagai akun sosial media yang dimilikinya di balik sampul komik yang terus dipegangnya sedari tadi. Dimi memberikan komik itu kepada Denova.

“Kamu juga tak tergantikan, Den.” Ucap Dimi sambil berlalu. Kemudian langkahnya terhenti. Ia lupa mengucapkan satu hal kepada Den.

“Kamu harus mengirimi aku email setiap hari, Den. Awas ya, kalau kamu lupa!” Dimi pergi meninggalkan Den yang masih melongo dengan komik di tangannya.

“I will, Dim!” Teriaknya.

–TAMAT–

___________________________________

Cerita ini diikutkan Giveaway Suka-suka Dunia Pagi yang diadakan oleh Amela.

38 thoughts on “Episode Empat Belas: Rindu yang Berujung

  1. Ihiwww… suka nih endingnya Kak.
    Semoga menang yaaa 🙂
    _______________
    Kaka Akin : Hehe… Aku termasuk pendukung Dimi dan Den sih… 😆

  2. wah, sudah ketinggalan jauh nih ceritanya, semoga sukses dengan give awaynya deh
    _______________

    Kaka Akin : Ini cuma ngelanjutin aja kok. Episode2 sebelumnya itu punya Amel 🙂

  3. assalamu alaikum.
    Waah ktinggalan, dah episode ke 14 aja neh, aq hrus baca yg sbelumnya. Salam knal, dzajakillah khairan 🙂
    _______________

    Kaka Akin : Hayuk, baca episode sebelumnya di blognya Amel ya… 🙂

  4. Wah ternyata endingnya belum benar-benar tamat. Kirain Dimitri justru bakal dekat sama Damian yang terus menemaninya selama penelitian. Ternyata cintanya yang sudah terlanjur tertambat pada Denova masih tak tergoyahkan.
    _______________

    Kaka Akin : Hehehe… Hidup Den dan Dimi!! 😀

  5. waaaah,.. makasih ya kak..
    so sweet endingnya..
    bener-bener mencerminkan prinsip hidup “kalau jodoh ga kemana” hihihi
    _______________

    Kaka Akin : karakter Den dan Dimi kan sangat kuat sejak awal :mrgreen:

  6. Serasa aku yang jadi pemeran dalam cerita ini… :postpowersyndrom: 😀 😀
    _______________

    Kaka Akin : Huahaha… jadi, bagaimanakah akhir cerita Anda? :mrgreen:

Leave a comment