Memanfaatkan?

Hari ini aku mengantar tanteku ke pasar pagi. Di depan pasar aku sempat melihat seorang pengemis yang tidak sempurna fisiknya (cacat) sedang naik ke sepeda motor dimana seorang pria telah menunggunya. Sebelum melaju, pria tersebut terlebih dahulu menyerahkan helm kepadanya, hehe… rupanya khawatir ditilang juga 🙂 Beberapa menit kemudian muncul lagi seorang pengemis yang cacat, menghampiri sebuah sepeda motor yang baru tiba dan kemudian mengangkutnya ke tempat lain.

Sudah jadi pengetahuan umum bahwa para pengemis di banyak kota, bukanlah berdiri sendiri. Namun biasanya mereka tergabung dalam suatu ‘organisasi’ dan bisa jadi pengendara motor yang membantu mobilisasi mereka seperti diatas, merupakan seseorang yang disebut ‘koordinator’. Para koordinator inilah yang menempatkan para pengemis itu di posisi-posisi yang dianggap strategis, seperti di pasar-pasar atau pinggir jalan. Biasanya koordinator ini mendatangkan lebih banyak pengemis di bulan Ramadhan. Aku heran juga, kok bisa mengumpulkan segitu banyaknya penyandang cacat untuk ‘diberdayakan’ sebagai pengemis, emangnya dari mana ketemunya?? 😦

Aku teringat dua atau tiga tahun yang lalu, saat aku sedang jaga malam di puskesmas, tiba-tiba sebuah mobil pick-up masuk ke halaman. Kulihat ada 3 orang pria berada di bak pick-up itu. Dua diantaranya adalah penyandang cacat, tuna netra dan kaki mengecil (ini apa namanya ya?). Dugaanku para penyandang cacat ini adalah pengemis. Yang satunya lagi, seorang pria usia 40-an, mengalami luka lecet dan robek di beberapa tempat. Saat aku dan rekanku merawatnya, kami menanyakan beberapa data yang diperlukan.

Ternyata dugaanku benar. Rupanya pria itu membawa pengemis dari pasar malam yang ada di luar kota dengan sepeda motor, kemudian mengalami kecelakaan. Mungkin jarak tempuh pasar malam itu lebih dari 30 menit dari puskesmasku yang berada di pinggir kota Samarinda. Sebenarnya pria itu tidak banyak bicara, namun dari gulungan kertas folio yang ada di badannya aku tahu ia adalah ‘koordinator’. Gulungan kertas itu adalah sama dengan yang sering dibawa oleh peminta sumbangan dengan berbagai stempel sana-sini, entah asli atau tidak, dan kop suratnya bertuliskan: YAYASAN PENYANDANG CACAT, lengkap dengan alamat dan nomer telpon (di Samarinda). Terlebih lagi saat melakukan pembayaran, pria itu membayar dengan menggunakan uang ribuan yang tentu saja pada lecek cek cek…

Yang membuat aku merasa amazing atas kejadian tersebut adalah, dua orang penyandang cacat tersebut tidak mengalami luka sedikitpun saat kecelakaan. Berbeda dengan koordinatornya yang terluka disana-sini. Subhanallah… rupanya Allah tidak ingin menimpakan musibah pada para penyandang cacat itu. 🙂

Entah kehidupan seperti apa yang dijalani oleh para penyandang cacat di yayasan itu. Apakah mereka diberi makan dengan baik? Apakah mereka dijadikan sahabat atau hanya mesin untuk memperoleh uang dengan mudah?? Ataukah mereka diperlakukan dengan buruk dan diberi hukuman bila tidak ada ‘setoran’?? Ya Allah, mudahan bukan yang terakhir ini ya… 😦

Insya Allah aku selalu berusaha  memberi beberapa rupiah pada setiap pengemis yang kutemui, mengesampingkan hal-hal di balik itu, misalnya orang-orang yang hanya memanfaatkan mereka dll. Aku berusaha untuk berpikir positif aja, anggap aja jadi ladang ibadah 🙂 Bagaimana dengan Sahabat?? Apakah sama dengan yang kulakukan??

45 thoughts on “Memanfaatkan?

  1. Bundo setuju dengan Akin, selama ada yg menadahkan tangannya pada kita sebaiknya kasih semampu kita. dan doakan agar kehidupan mereka bisa berubah.

    itu susah sebenarnya, seringnya hati bundo sempit juga dan berprasangka buruk klo udah keseringan. hehhe.. lagi belajar niyh.Kan harus ikhlas ngasih, dikala lapang dan sempit

  2. iya nih..
    banyak banget ya pengemisnya..
    tanpa disadari,mereka hadir agar kita selalu berbagi lo.. 🙂
    iya ga??
    tp kalau masih seger/waras dia ngemis..ga aku kasih Kin..
    itu sama aja kita ngedukung dia tambah malas…

  3. ya begitulah kehidupan..
    wajah memelas pun bisa menjadi ladang bisnis…
    amal itu tergantung niatnya aja, Kin..

    sedj

  4. Miris aja melihatnya. Tapi di Samarinda kayanya belum seberapa mbak. Di Jakarta, sepertinya lebih parah lagi. Ingat nggak (ditayangan TV/surat kabar), salah 1 kampung di Jawa apa gitu, yang penduduknya rata2 berprofesi sebagai pengemis. Sampai2 ada fatma haram dari MUI 😦

    • Yg di Samarinda tuh, markasnya di Jl. Belibis gak tau gang berapa.
      Rasanya pernah juga melihat tayangan tv yang itu 😦

  5. kenapa mereka mau juga dimanfaatkan? pastinya sebuah simbiosis mutualisme yg terjadi disana,kalau gak mereka pasti mending mengemis sendiri aja,toh bisa buat sendiri hasilnya kan?
    apapun itu mengemis rupanya udah jadi profesi ya? bukan sebuah kondisi keterpaksaan lagi 😦

  6. ya… mbk di kampusku gk perlu khawatir cari ladang amal, he.. 🙂 di depan gebang selalu mangkal banyak pengemis.. huh
    tapi kita harus selektif juga sih mbak kan banyak dan setiap hari lagi, jadi aya lebih prioritas yang tua atau cacat, kadang banyak yang masih muda juga sudah minta-minta sih 😦

  7. maksud pertanyaan akin di “kaki mengecil” itu, tuna daksa bukan? kalo ngga salah untuk istilah penyandang cacat fisik. ttg penyandang cacat, memang seharusnya negara memberikan mereka penghidupan yg lebih baik. di korea misalnya, penyandang cacat sangat diperhatikan untuk memperoleh pekerjaan yg layak. kasihan jika karena himpitan ekonomi membuat mereka terpaksa mengemis atau bahkan dimanfaatkan oleh orang yang tak berperikemanusiaan.
    ada juga ya pengemis yang berpura2 cacat, mudah2an mereka dibukakan hatinya bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
    untuk infaq dan sadaqoh, bisa disalurkan ke lembaga resmi akin.. namun aku juga seringkali ngga tega kalo bertemu dengan peminta2 di jalan 😦

    • Kapan ya di negara kita bisa memberikan kehidupan yang baik bagi penyandang cacat? 😦
      Hidup santai, pemasukan besar spertinya masih tetap jadi pilihan 😦

  8. mungkin saya tidak langsung memberi, biasanya saya suka berjalan kaki dan berbicara dengan banyaknya orang di perampatan jalan.

    jujur banyak juga yang meminta ternyata karena malas bekerja.

    yang saya lakukan adalah komunikasi, saya berbagi dengan belajar bersama mereka.

    jika memang layak untuk menerima rupiah akan saya beri.

    bukan saya tidak ikhlas, tapi saya mencoba berkomunikasi dan melakukan pembelajaran bersama. seperti saya biasa mengajari anak-anak jalanan yang tidak sekolah

    • Bener juga ya Mbak Jum… Kebanyakan mereka karena sudah keenakan dapat banyak duit, jadi enggan berkarya, nggak peduli lagi sama yang namanya harga diri.
      Saya lebih kagum pada pedagang asongan, atau di Samarinda lagi musim jualan opak di perempatan.
      Btw, selamat datang di blog saya ya 😉

  9. Klo saya sich, cuma hari2 tertentu saja, maksudnya hari dikala kantong tebal dan ada uang pas.. hehehehe
    Bener kita ga boleh suuzon, klo mau memberi, yach harus memberi dengan ikhlas las las..

  10. mhmm…jadi ingat filmnya “Slumdog millionare” mbak..
    dan ternyata pengemis yang cacat itu, banyak juga yang sengaja dibuat cacat oleh koordinatornya biar ketika mengemis semakin banyak yang mengasihaninya…

    kakinya sengaja dipotong, atau matanya sengaja dicongkel biar buta..

  11. Saya teringat anak-anak yang mengemis di jalan, kakinya di lipat dan pura-pura cacat, padahal kan ndak. Trus kalo dah sore yang dilakukan adalah menghisap aroma lem…

    kasihan sekali…

    tapi pakde cholik selalu bilang, kalau ikhlas ya ndak usah di pikirkan

    terima kasih mbak akinnnn atas visiting ke rumah saya

  12. bagi para pengemis yg terorganisasi dng profesional ada korlap-nya, yg bertugas memantau ‘pergerakan’ mereka.
    mengemis menjadi hobi sekaligus pekerjaan utamanya

  13. kira-kira boleh tdk ya…
    pilih2 klu mau ngasih orang yg minta2 ???
    tp kayaknya lebih baik tetap memberi tanpa pandang bulu yg penting iklas en cari Ridho Allah Ta’ala aja.

  14. Tulisan ini berhasil membuat saya merenung beberapa saat …

    puluhan pertanyaan menari dikepala saya …
    dan semuanya tidak bisa saya jawab

    Salam saya

  15. bunda juga msh sering ragu kalau ingin memberi sedekah pd pengemis ,terutama di jalan besar pd saat lampu merah.
    Padahal seharusnya gak perlu ya Kakaakin, krn kalau ingin memberi tentunya hrs dgn ikhlas, tanpa pandangan penuh curiga.
    salam

  16. hehe
    jujur kadang prasangka buruk keluar sich
    tapi klo ada uang kecil ya dikasih ajah
    hitung2 beramal
    😀

  17. Di Sby parah jg keadaannya. Mengemis sekarang adalah profesi sebagaimana profesi2 dlm dunia kerja lainnya. 2 kali saya berbelanja, pertama waktu beli salak eh seorang pengemis dengan ecek2 di tangan beli 2 kilo. Kedua, waktu beli ikan, seorang pengemis beli bandeng 1 kilo. Ckckck…..tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

  18. Waduh saya kok kasihan dengan pengemisnya, padahal kan fakir miskin dan yang terlantar dipelihara oleh negara ya kin.. ck..ck.. andai saja para pemimpin membuka mata, gak akan ada berita gayus cs ya kin.
    Untuk memberikan, memang kita tak perlu berprasangka kepada mereka. selagi ita bisa, berikan saja. 😀

  19. tugas negara tuh ngurus orang miskin termasuk pengemis…
    tampaknya keseringan duduk di tempat mewah membuat susah
    peduli rakyat…, rakyat juga yg susah…

    smoga kita bisa ikhlas beramal, meskipun tau mereka
    dimanfaatkan.. 😦

  20. makanya dilematik juga klo mau ngasih orang cacat or pengemis di pinggi2 jalan itu … tp bismillah aja, asal niatnya baik insya Allah hasilnya akan baik kan? lagipula Allah itu kan Maha Pemberi Balasan, semua pasti ada akibatnya

  21. Kalau saya.. memberikan sumbangan atau sedekah seikhlasnya.. Itulah yang saya berikan walaupun jaman sekarang terkadang kita berfikir ulang kalau mmeberikan kepada pengemis.

    Kehawatiran itu muncul karena maklumlah zaman sekarang kadang itu dijadikan penghasilan tetap dengan cara yang malas dan tidak mendidik.

  22. rose sebelum memberi harus nyipain mental dulu… drpada nggerundel di belakang… siap mental barangkali dia adalah org yang sebenernya tak layak tuk jadi pengemis… niatnya ngasih aja gtu

  23. sebenernya aq sebel banget ma aksi yang kek ginian kin… makanya tren aku sekarang lebih seneng kasih para tukang sampah.. jelas2 mereka bekerja dan bermanfaat bagi lingkungan.. kalau mo ngasih pengems harus nyiapin mental dulu.. biar ga berasa nyesel gtu

  24. Kalo QK ya lihat” yang dikasih mbak…
    mungkin kalo yang datang adalah yang menurut mbak akin “koordinatornya” tadi itu … sepertinya QK malas ngasihnya…
    tapi kalo sudah penyandang cacatnya beneran yang datang,,, wah itu lain lagi ceritanya. Insyaallah QK bantu meskipun kadang juga terselip sedikit perasaan sebal,, bukan pada mereka. tapi pada sang “koordinator”

    klo setelah bekerja mereka mendapatkan yang layak masih gpp mbak,takutnya mereka cuma dijadikan alat 😦 sedih

  25. haduh..apakah sudah jadi budaya ya di bangsa kita..kok ngemis sampai di koordinir 😀 tapi saya yakin hanya oknum aja tuh yang bener2 butuh pertolongan masih banyak juga loh..

Leave a reply to jumialely Cancel reply