Terjemahannya di Bawah Ini

Dua orang pria berjalan memasuki ruangan UGD sore tadi. Salah seorang dari mereka sudah cukup familiar bagi kami, petugas puskesmas. Beliau cukup sering datang untuk berobat dengan keluhan yang kurang lebih sama, batuk dan lain-lain. Sebut saja beliau Mbah Misno. Kali ini Mbah Misno datang dengan diantar oleh salah seorang anggota keluarganya.

“Mau pereksa, Mbak” Kata Mbah Misno.

“Silakan baring ya, Mbah” Kata salah seorang rekanku.

Pria yang sudah berusia 76 tahun ini menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi. Untunglah ada Si Cempluk yang asli bersuku Jawa, maju untuk menanya-nanyai keluhan Mbah Misno. Komunikasi jadinya bisa berjalan lancar. 🙂

Hanya sedikit kata-kata yang bisa kupahami. Beberapa kali kata ‘mboten‘ kudengar. Aku dan rekan yang lain hanya berpandang-pandangan sambil tersenyum, maklum kami bukan orang Jawa. Aku menggerakkan tangan di depan badanku, ke kiri dan ke kanan, seolah olah menunjuk sesuatu seraya berkata lirih kepada rekanku : “Terjemahannya ada di bawah ini“. 😀

Ya, kalimat itulah yang kerap kami ucapkan saat di dekat kami ada orang yang menggunakan bahasa daerah tertentu, sementara kami tak mengerti bahasa itu.

Puskesmas tempat kerjaku kerap dikunjungi oleh pasien dengan berbagai suku. Sekitar 5 Km dari puskesmas terdapat perkampungan transmigrasi yang sebagian besar dihuni oleh warga bersuku Jawa. Tak jauh dari puskesmas ada pula sebuah desa yang sengaja dibuat oleh pemerintah yang didiami oleh warga bersuku Dayak. Selain itu ada juga RT yang hampir semua warganya bersuku Sunda. Belum lagi warga bersuku Bugis dan Banjar yang tersebar di beberapa tempat. Warga bersuku lain juga banyak yang tinggal di wilayah cakupan kerja puskesmasku ini.

Sebenarnya kesulitan komunikasi biasanya terjadi antara petugas dengan pasien yang sudah sepuh, alias lansia yang kurang menguasai Bahasa Indonesia. Terkadang ada pula pasien yang baru datang dari daerah lain yang hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa daerah. Untungnya keadaan ini bisa tertolong dengan adanya keluarga yang mengantar pasien berobat. Namun rasanya kurang mantab bila tidak bertanya langsung dengan pasien tentang apa yang dirasakannya 😀

Kembali ke kisah Mbah Misno. Aku mencomot sebuah kalimat yang diucapkan oleh Cempluk.

Mboten saget ngunju, Mbah?”

“Apa sih arti saget itu?” Tanyaku pada Cempluk.

“Itu artinya ‘bisa'”

“Kalau ngunju itu apa?”

Ngunju itu minum. Lebih halus dari ngombe.”

“Oo…” Sahutku sambil manggut-manggut.

Lumayan, pikirku. Bertambah ladi beberapa kosa kata dalam Bahasa Jawa. Selama ini baru sedikit kosa kata yang kumiliki. Palingan seputar pertanyaan ringan yang biasa ditanyakan ke pasien. Misalnya:

Sirahe mumet?”

Ngising-ngising?

Ehm, Sahabat semua… tidak sedang mengalami ngising-ngising kan?? :mrgreen:

_______________________________

Salam sehat selalu dari Suster Akin :mrgreen:

53 thoughts on “Terjemahannya di Bawah Ini

  1. kulo mboten ngertos kak.. hahahahaha.. kalo dhe mah bahasa jawa bisanya cuma pasif, soalnya lingkungan dhe dulu bukan jawa, jadi belajar bahasa jawa cuma dari keluarga aja.. itulah kenapa dhe hanya bisa sebatas mengerti tapi kalo untuk ngomong langsung masih kaku.. 😀

    mo belajar bahasa Palembang gk kak??

  2. masa ngising2 terus kak..hehe
    aku alhamdulillah bisa berbahasa Jawa (iya lah aku org Jawa :D)
    tp klo bahasa jawa halus mah gak ngerti, paling manggut2 doank.

  3. Samarinda memang daerah yang heterogen yah mba…budayanya bermacam-macam..
    wajar saja ketika kali pertama saya menginjakkan kaki di Kota Tepian itu saya tidak merasa di suatu daerah “asing”, soalnya ternyata sebagian penduduknya berbahasa jawa, meski ada hiasan sedikit logat banjar…
    ah…berbhineka itu indah….
    hehehehe…

    • Hahaha… tapi, biasanya anak2 sekolah terpengaruh bahasa banjar loh 😀
      Trus kalo di pasar, bagian yang jualan sayuran orang Jawa, yang bagian jualan ikan orang Bugis. Orang Banjarnya jualan nasi kuning di depan rumah masing2 :mrgreen:

  4. Hahaha…terbayang, jika pasien sudah kesakitan..perawat dan atau dokternya tak bisa memahami bahasanya karena menggunakan bahasa daerah asalnya.
    Penah nggak terjadi benar-benar tak ada satupun yang paham?

  5. sama dong kayak di tempatku (jambi), kak. banyak sekali perantau dari Jawa. bedanya kalau di sini belum ada lokasi atau RT yang khusus orang Jawa. mereka tinggalnya di bedeng-bedeng yang di bangun di kebun karet, jauh dari dusun.

    aku sering banget ketemu orang bersuku jawa, tapi tetep aja nggak pake ngerti bahasanya, hehe…

  6. Memang didaerah palaran begitu banyak yang berbahasa Jawa, Aku jga punya teman orang dayak tinggal didaerah smarinda seberang kak…

    Kebetulan gak ngising-ngising kak… hehehe……

    Ini seperti sewaktu aku bertemu pembeli orang banjar, menanyakan wadak panas, dengan mikir wadak panas apakah bedak yang panas… karena bingung akhirnya bertanya juga aku kak. ternyata parem/param…..

Leave a reply to Mabruri Sirampog Cancel reply