Merah

Gambar dari sini

Jalan raya Samarinda di pagi Minggu yang biasanya lancar, mulai melambat. Asap membumbung di kejauhan. Hitam dan pekat. Andy menyeka keringat di dahinya. Detak jantungnya kian meningkat. Setir yang melingkar di depan dada Andy dicengkeramnya sekuat tenaga. Lalu lintas yang mulai padat menghalangi niatnya yang ingin menekan pedal gas dalam-dalam.

“Semoga hanya asap dari ban yang terbakar,” ucap Andy lirih. Ia tak ingin terlambat dalam mengantar kedua penumpang yang sedang duduk di bagian belakang mobilnya.

Andy salah. Beberapa puluh meter di depan mobilnya telah terpasang barikade buatan warga. Andy tak dapat maju lebih jauh lagi. Di kejauhan ia melihat api yang berwarna merah telah menjilat-jilat di atas rumah warga yang ada di sisi kanan jalan. Teriakan dan tangis menghiasi pagi itu.

“Putar balik, Pak!” seru seorang laki-laki sambil mengetuk kaca mobil Andy.

Andy memandang ke sekeliling. Mobilnya telah berada di tengah-tengah keriuhan. Tak mungkin ia bisa memutar balik. Sisi kanan dan kirinya dipenuhi sepeda motor warga yang ingin menyaksikan terjadinya kebakaran. Di depannya ada beberapa mobil yang sama sepertinya, terjebak. Mundurpun sudah tak mungkin lagi. Andy lalu keluar dari mobilnya dan mendekati salah seorang warga.

“Pak, tolong beri saya jalan. Saya sedang terburu-buru,” pinta Andy.

“Tidak bisa lewat, Pak. Sudah banyak mobil pemadam,” sahut bapak itu sambil lalu.

Berulang  kali istigfar terucap dari bibir Andy. Mobil-mobil merah dengan juluran selang dan tangga sudah memenuhi bentangan jalan raya di hadapannya. Tiada mungkin lagi ia bisa melalui jalan itu. Ia masuk kembali ke dalam mobil dan sekilas melirik wajah-wajah cemas penumpangnya dari kaca.

Andy memeluk setir sambil tertunduk. Ini adalah salahnya. Ia menyesal mengapa tak menuruti saja permintaan istrinya untuk segera pulang ke rumah sejak semalam.

“Aku ada urusan dengan bosku malam ini, Fit. Besok pagi saja aku berangkat dari Balikpapan.” kata Andy pada Fitri, istrinya, melalui ponsel. Sahutan dan rengekan lemah Fitri tak digubris Andy hingga telepon diputusnya.

“Istrimu?” suara lembut dari bibir merah mengalihkan perhatian Andy dari istrinya. Andy mengangguk. “Ada masalah dengan Fitri?”

“Ah, tidak. Biasa sih,” sahut Andy sambil menggeleng cepat. Ia tak ingin kehilangan kesempatan mendengarkan curahan hati bosnya, sebuah agenda yang hampir-hampir rutin dilakukannya setiap malam Minggu. Ia sedang menikmati menjadi seseorang yang berarti bagi bosnya.

Lalu mengalirlah kisah rumah tangga yang penuh duka karena suami yang berselingkuh. Sesekali bos Andy menyeruput kopi hitam yang ada di depannya. Alunan musik dari band serta cahaya yang lembut di Cafe Victoria melatari untaian-untaian kalimat yang diucapkan oleh pemilik bibir merah itu.

“Tante! Tante, bangun!”

Suara panik Tya, salah seorang penumpang di mobil Andy, menyadarkan Andy dari lamunan tentang bosnya. Anak gadis yang tinggal di depan rumahnya itu sedang menepuk-nepuk pipi perempuan yang bersandar padanya.

Andy beringsut menghadap ke kursi belakang mobil. Lalu menatap perempuan berparas cantik yang bersandar lemah pada Tya. Dialah Fitri. Andy kasihan pada istrinya karena tak bisa duduk dengan nyaman di mobil yang sempit. Wajahnya yang putih menjadi semakin terlihat pucat.

“Sayang, sabar ya… Sebentar lagi kita akan sampai ke rumah sakit,” ucap Andy perlahan sambil menggenggam tangan istrinya. Fitri mengerang perlahan.

Andy terkejut melihat cairan berwarna merah mengalir deras di sekitar kaki Fitri hingga ke lantai mobil. Daster istrinya telah basah oleh darah.  Andy tak dapat menahan air matanya. Andy keluar dari mobil.

“Aaarrgghh!”

Andy berteriak sambil mencengkeram rambutnya. Namun teriakannya tertelan oleh raungan sirene mobil pemadam yang semakin banyak memenuhi lokasi kebakaran. Andy tersungkur di atas jalan raya sambil menangis sesenggukan. Ia tak dapat  melakukan apapun. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya dan janin yang dikandungnya.

Tiba-tiba ponsel Andy berdering, sebuah telpon masuk.

“Hai, Andy Sayang. Apa kabar?” Andy mendengar suara bosnya di seberang sambungan telpon.

Tanpa menyahut, Andy langsung memutuskan sambungan. Tangisnya semakin keras. Penyesalan memenuhi hatinya. Seandainya saja ia tak terlena oleh buaian sang pemilik bibir merah itu, ia pasti sudah mengantar istrinya sejak semalam dan mereka takkan terjebak di lokasi kebakaran.

“Om… Om, Tante Fitri pingsan. Darahnya tambah banyak yang keluar,” Tya muncul dari samping mobil dan berteriak pada Andy.

Andy melongo. Ia hanya berdiri mematung. Perlahan ia menatap jilatan api yang semakin merah membara dan telah menghanguskan sekian banyak rumah itu. Suhu di sekitarnya panas, namun otaknya beku.

______________________________________

Tulisan ini diikutsertakan pada Hajatan Anak Pertama yang diadakan oleh Sulung Lahitani

41 thoughts on “Merah

  1. Merah, merah jambu, merah “jingga”, merah maroon, merah merona dll. ::)
    Banyak merah dan mulai beralih ke Fiksi dengan merah ya mba akin. 😆

    Lho, kontes ya? 😆

  2. Lama tidak mampir ke Samarinda, jadi kangen dengan mbak kakaakin. Sehat selalu mbak untuk keluarga 😉

    Wah tulisan fiksi membut aku tidak sabar untuk langsung menuju kolom komentar aja 😆

    Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan

  3. baru ngeh, semua serba merah yah… hehe.. moga mata Andy ngga ikutan merah gara2 abis lembur sama pemilik bibi merah… 😀

  4. Penyesalan emang datengnya belakangan, coba kalau istrinya sampai meninggal apah ndak makin terpukul tuh orang. Makan ne toh mas lain kali nurut sama omongan istri 😀

    Salam manies kakakin 😀

Leave a reply to affanibnu Cancel reply